Search

RASIONALISME

Secara etimologis Rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris rationalism. Kata ini berakar dari kata bahasa Latin ratio yang berarti “akal”. A.R. Lacey menambahkan bahwa berdasarkan akar katanya Rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. Atau dengan kata lain bahwa pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal manusia.
Sementara itu, secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi. Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dipakai untuk mempertegas pengetahuan yang diperoleh akal. Akal tidak memerlukan pengalaman. Akal dapat menurunkan kebenaran dari dirinya sendiri, yaitu atas dasar asas-asas pertama yang pasti.
Rasionalisme tidak mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman hanya dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Karenanya, aliran ini yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide, dan bukannya di dalam barang sesuatu. Jika kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal saja. Kerjasama ini akan melahirkan metode sains (Scientific Methods) dan dari metode ini melahirkan pengetahuan sains (Scientific Knowledge) yagn dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai pengetahuan Ilmiah.
Kaum Rasionalisme mulai dengan sebuah pernyataan yang sudah pasti. Aksioma dasar yang dipakai membangun sistem pemikirannya diturunkan dari ide yang menurut anggapannya adalah jelas, tegas dan pasti dalam pikiran manusia. Pikiran manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui ide tersebut, namun manusia tidak menciptakannya, maupun tidak mempelajari lewat pengalaman. Ide tersebut kiranya sudah ada “di sana” sebagai bagian dari kenyataan dasar dan pikiran manusia.
Dalam pengertian ini pikiran menalar. Kaum rasionalis berdalil bahwa karena pikiran dapat memahami prinsip, maka prinsip itu harus ada, artinya prinsip harus benar dan nyata. Jika prinsip itu tidak ada, orang tidak mungkin akan dapat menggambarkannya. Prinsip dianggap sebagai sesuatu yang apriori, dan karenanya prinsip tidak dikembangkan dari pengalaman, bahkan sebaliknya pengalaman hanya dapat dimengerti bila ditinjau dari prinsip tersebut.
Dalam perkembangannya Rasionalisme diusung oleh banyak tokoh, masing-masingnya dengan ajaran-ajaran yang khas, namun tetap dalam satu koridor yang sama. Pada abad ke-17 terdapat beberapa tokoh kenamaan seperti René Descartes, Gottfried Wilhelm von Leibniz, Christian Wolff dan Baruch Spinoza. Sedangkan pada abad ke-18 nama-nama seperti Voltaire, Diderot dan D’Alembert adalah para pengusungnya. Sejarah Rasionalisme sudah tua sekali. Thales telah menerapkan rasionalisme dalam filsafatnya. Ini jelas kemudian dilajutkan oleh orang – orang sofis dan tokoh – tokoh penentangnya yaitu Socrates, Plato, dan Aristoteles.
Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan fakta, daripada melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan atau takhayul.
Zaman Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke 17 sampai akhir abad ke 18. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran.
Ternyata, penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu alam. Maka tidak mengherankan bahwa pada abad-abad berikut orang-orang yang terpelajar Makin percaya pada akal budi mereka sebagai sumber kebenaran tentang hidup dan dunia. Hal ini menjadi menampak lagi pada bagian kedua abad ke 17 dan lebih lagi selama abad 18 antara lain karena pandangan baru terhadap dunia yang diberikan oleh Isaac Newton (1643 -1727). Berkat sarjana geniaal Fisika Inggeris ini yaitu menurutnya Fisika itu terdiri dari bagian-bagian kevil (atom) yang berhubungan satu sama lain menurut hukum sebab akibat. Semua gejala alam harus diterangkan menurut jalan mekanis ini. Harus diakui bahwa Newton sendiri memiliki suatu keinsyafan yang mendalam tentang batas akal budi dalam mengejar kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Berdasarkan kepercayaan yang makin kuat akan kekuasaan akal budi lama kelamaan orang-orang abad itu berpandangan dalam kegelapan. Baru dalam abad mereka menaikkan obor terang yang menciptakan manusia dan masyarakat modern yang telah dirindukan, karena kepercayaan itu pada abad 18 disebut juga zaman Aufklarung (pencerahan).
Pada pertengahan abad ke-20, ada tradisi kuat rasionalisme yang terencana, yang dipengaruhi secara besar oleh para pemikir bebas dan kaum intelektual. Rasionalisme modern hanya mempunyai sedikit kesamaan dengan rasionalisme kontinental yang diterangkan René Descartes. Perbedaan paling jelas terlihat pada ketergantungan rasionalisme modern terhadap sains yang mengandalkan percobaan dan pengamatan, suatu hal yang ditentang rasionalisme kontinental sama sekali.

Rene Descartes
Dan yang paling menonjol diantara mereka adalah Rene Descartes, sebagai orang pertama dalam zaman modern yang meyakini bahwa dasar semua pengetahuan berada dalam pikiran. Yaitu dengan jargon yang dibawanya “aku berpikir maka aku ada” yang dalam bahasa Latin kalimat ini adalah “Cogito Ergo Sum” sedangkan dalam bahasa Prancis adalah “Je Pense Donc Je Suis”. Sehingga iapun layak diberi gelar sebagai Bapak Filsafat Modern. Kata modern di sini hanya mempunyai corak yang amat berbeda, bahkan berlawanan dengan corak filsafat abad pertengahan Kristen.
René Descartes atau Cartesius dilahirkan di La Haye, sebuah kota kecil di Touraine, Perancis tahun 1596. Ia mendapatkan pendidikan di sekolah Jesuit di La Flèche. Selama di sekolah ini, karena kondisi kesehatannya yang kurang baik, ia diizinkan untuk tetap berada di tempat tidur dan ini pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan selama hidupnya. Di sekolah Jesuit, Descartes mendapatkan pelajaran-pelajaran tentang filsafat, fisika dan matematika. Selama di sekolah ini pula ia ikut merayakan ditemukannya berbagai bulan yang ada pada planet Jupiter tahun 1611.
Setelah meninggalkan La Flèche, Descartes melanjutkan pendidikannya ke sekolah hukum di Poitiers. Selanjutnya ia berpergian di beberapa negera Eropa selama satu dekade, termasuk tiga tahun di Paris, di mana ia menemukan Mersenne, yang kemudian menjadi mentornya. Pada tahun 1629, dalam pencariannya akan ketenangan dan kesunyaian, ia menetap di Belanda. Belanda dianggap sebagai tempat yang paling tepat karena iklim kebebasannya yang terbaik di Eropa. Descartes menetap di Belanda sampai dengan 1649. Pada rentang waktu tahun-tahun inilah ia menulis banyak karya ilmiah. Pada Oktober 1649 pula ia pindah ke Stochkholm, Swedia, namun pada Februari tahun berikutnya yakni 1650, ia wafat karena penyakit pneumonia.
Sebagai seorang filosof, Descartes telah menghasilkan beberapa karya filsafat yakni: Discours de la méthode pour bien conduire sa raison et chercher les vérités dansles sciences (Discourse on Method), 1637; Meditationes de Prima Philosophia editations on the First Philosoph), 1641; Principia Philosopiae (Principles of Philosophy), 1644; dan Les Passiones de L’ame (1650).
Beberapa catatan ditambahkan oleh Gallagher dan Hadi tentang maksud dari cogito, ergo sum ini. Pertama, isi dari cogito yakni apa yang dinyatakan kepadanya adalah melulu dirinya yang berpikir. Yang termaktub di dalamnya adalah cogito, ergo sum cogitans. Saya berpikir, maka saya adalah pengada yang berpikir, yaitu eksistensi dari akal, sebuah substansi dasar. Kedua, cogito bukanlah sesuatu yang dicapai melalui proses penyimpulan, dan ergo bukanlah ergo silogisme. Yang dimaksud Descartes adalah bahwa eksistensi personal saya yang penuh diberikan kepada saya di dalam kegiatan meragukan. Dalam aliran ini Descartes tersirat sebagai seorang yang subjektif dengan menilai sesuatu dengan ukuran dia sendiri, individualis dengan melakukannya seorang diri, dan humanis dengan mengedepankan kemanusiaanya.
Berbeda dengan para rasionalis-ateis seperti Voltaire, Diderot dan D’Alembert, Descartes masih memberi tempat bagi Tuhan. Descartes masih dalam koridor semangat skolastik yaitu penyelarasan iman dan akal. Descartes mempertanyakan bagaimana ide tentang Tuhan sebagai tak terbatas dapat dihasilkan oleh manusia yang terbatas. jawabannya jelas. Tuhanlah yang meletakkan ide tentang-Nya di benak manusia karena kalau tidak keberadaan ide tersebut tidak bisa dijelaskan.
Descartes merupakan bagian dari kaum rasionalis yang tidak ingin menafikan Tuhan begitu saja sebagai konsekuensi pemikiran mereka. Kaum rasionalis pada umumnya “menyelamatkan” ide tentang keberadaan Tuhan dengan berasumsi bahwa Tuhanlah yang menciptakan akal kita juga Tuhan yang menciptakan dunia.
Tuhan menurut kaum rasionalis adalah seorang “Matematikawan Agung”. Matematikawan agung tersebut dalam menciptakan dunia ini meletakkan dasar – dasar rasional, ratio, berupa struktur matematis yang wajib ditemukan oleh akal pikiran manusia itu sendiri. Tahapan berpikir Descartes di atas dapat diringkaskan sebagai berikut :
Benda indrawi tidak ada
Gerak, jumlah, besaranTidak ada
Saya sedang ragu, ada
Saya ragu karena saya berpikir
Jadi, saya berpikir ada

Gotifried Wilhelm von Liebniz
Tokoh lain dalam aliran ini adalah Leibniz. Nama lengkapnya Gotifried Wilhelm von Liebniz lahir pada tahun 1646 dan meninggal pada tahun 1716. Seorang filosof Jerman, matematikawan, fisikawan, dan sejarahwan. Pusat metafisikanya adalah ide tentang substansi yang dikembangkan dalam konsep monad.
Leibniz lahir di Leipzig, Jerman. Dan menempuh sekolahnya dalam waktu singkat hingga pada umur yang ke 15 ia sudah tercatat sebagai seorang mahasiswa di Universitas Leipzig. Dan belum cukup umurnya 21 tahun, ia menerima ijazah doktor dari Universitas Altdorf dengan disertasi berjudul De casibus perplexis (On Complex Cases at Law). Setelah itu dia berpindah – pindah tempat dari Leipzig ke Nurenberg, kemudian ke London, terus ke Hannover kemudian ke Amsterdam dan disetiap kesempatannya bepergian ia bertemu dengan ilmuwan, salahsatunya adalah Spinoza ketika ia berada di Amsterdam.
Metafisika Liebniz sama memusatkan perhatian pada substansi. Bagi Spinoza, alam semesta ini mekanistis dan keseluruhannya bergantung pada sebab, sementara substansi pada Leibniz adalah hidup, dan setiap sesuatu terjadi untuk suatu tujuan.
Sementara Spinoza menyimpulkan bahwa substansi itu satu, tetapi menurut Liebniz substansi itu banyak. Ia menyebutkan substansi itu sebagai monad. Setiap monad berbeda satu dengan yang lain, dan Tuhan (sesuatu yang supermonad dan satu-satunya monad yang tidak dicipta) adalah Pencipta monad-monad itu.
Dengan membaca teks tentang monad kita kan menemukan bahwa apa yang dikemukakan oleh Liebniz banyak mengandung keraguan dan terasa ganjil. Sebagai contoh tentang pertanyaan “Apakah ruang dan waktu itu substansi?” menurut Liebniz bukan. Dalam masalah ini ia berbeda pendapat dengan Newton. Adakah “monad” di dalam ruang? Kata Liebniz : tidak. Ia juga memberikan jawaban yang cukup mengagetkan tatkala ia berkata bahwa monad tidak hanya tidak ada dalam ruang tetapi juga tidak ada dalam waktu. Bukan monad yang berada dalam waktu tetapi waktulah yang berada dalam monad .
Pada Newton, alam semesta adalah gerakan atom di dalam ruang kosong, bergerak satu sama lain menuruti hukum gerak dan grafitasi. Dalam kali ini Newton gagal dalam menyesuaikan teorinya dengan ajaran tentang Tuhan dan makhluk.
Perbedaan besar antara Newton dan Liebniz terletak pada soal ruang dan waktu. Pendapat keduanya tentang ada ruang kosong yang di sana objek – objek bertempat, sulit untuk diterima. Sama halnya dengan Newton tentang pendapatnya waktu yang absolut, yaitu waktu yang adanya terpisah dari sesuatu yang terjadi di “dalam” nya. Setelah menelaah kembali akhirnya Liebniz menyatakan bahwa tidak ada waktu absolut begitu juga ruang absolut. Menurutnya Space dan time adalah relatif tergantung persepsi masing-masing.
Di atas muncul dua metafisikawan terbesar Zaman Modern Spinoza dan Liebniz. Keduanya memperlihatkan teori yang kabur serta meragukan. Keduanya memulai dari basis yang sama, metode yang sama tetapi tiba pada kesimpulan-kesimpulan yang berbeda, bahkan bertentangan. Orang – orang akan bingung untuk menentukan yang benar di antara keduanya, sehingga terjadilah masa relativisme kebenaran. Keadaan ini sama persis dengan situasi umu filsafat sofisme Yunani. Kebenaran sains diragukan; ajaran agama digoyahkan. Itu digambarkan dengan sebuah kalimat pendek ; kebenaran itu relatif.

Analisis Kritis Rasionalisme
Kelebihan
Kelebihan rasionalisme adalah mampu menyusun sistem – sistem kefilsafatan yang berasal dari manusia. Umpamanya logika, yang sejak zaman Aristoteles, kemudian matematika dan kebenaran rasio diuji dengan verifikasi kosistensi logis.
Kelebihan Rasionalisme adalah dalam menalar dan menjelaskan pemahaman – pemahaman yang rumit, kemudian Rasionalisme memberikan kontribusi pada mereka yang tertarik untuk menggeluti masalah – masalah filosofi. Rasionalisme berpikir menjelaskan dan menekankan kala budi sebagai karunia lebih yang dimiliki oleh semua manusia.

Kelemahan
Doktrin – doktrin filsafat rasio cenderung mementingkan subjek daripada objek, sehingga rasionalisme hanya berpikir yang keluar dari akal budinya saja yang benar, tanpa memerhatikan objek – objek rasional secara peka. Kelemahan rasionalisme adalah memahami objek di luar cakupan rasionalitas sehingga titik kelemahan tersebut mengundang kritikan tajam, sekaligus memulai permusuhan baru dengan sesama pemikir filsafat yang kurang setuju dengan sistem – sistem filosofis yang subjektif tersebut.
Rasionalisme adalah pendekatan filosofis yang menekankan akal budi sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas , dan bebas berpendapat bahwa pengalaman atau pengamatan bukan suatu jaminan untuk mendapat kebenaran. Beberapa realitas dapat dicapai validitasnya tanpa bantuan pengalaman empirisme. Di antaranya adalah dengan deduksi dan intuisi adalah suatu metode pemikiran tanpa dibuktikan dengan metode empirisme, namun mengandung kebenaran yang tidak dapat diragukan lagi.
Konsekuensi rasional adalah sebab-akibat, akiba kebenaran adalah sebab – sebab yang menyatakannya benar, sedangkan kebenaran beberapa realitas dapat dikenali dengan adanya sebab – sebab dan akibat tersebut.