Kata ‘real’(nyata) berasal dari bahasa latin ‘res’ yang artinya pengertian terhadap sesuatu yang kongkrit dan (sekaligus) abstrak. Sehingga ‘reality’ (realitas/kenyataan) berarti segala hal tentang sesuatu yang nyata, yang real, dan ‘realisme’ adalah doktrin filosofi tentang realitas dan aspek-aspeknya. Tapi, karena ilmu filsafat terbagi menjadi beberapa disiplin ilmu yang berbeda, maka doktrin realisme ternyata juga terbagi menjadi beberapa varietas yang berbeda pula. Secara fundamental antara lain dapat dibagi menjadi 6 disiplin ilmu berikut : ontolology (ontologi), semantics (semantik), epistemology (epistemologi), axiology (aksiologi), methodology (metodologi), dan ethics (etika).
Ontology mempelajari sifat dasar realitas, terutama problematika mengenai eksistensi(keberadaan). Semantics mempelajari tentang hubungan antara bahasa dan realitas. Epistemology menyelidiki tentang kemungkinan, sumber asal dan jangkauan pengetahuan manusia. Pertanyaan yang timbul dari tujuan permintaan jawaban adalah subjek dari axiology. Methodology mempelajari cara yang terbaik, yang paling efektif untuk mencapai pengetahuan. Dan yang terakhir, ethics, perhatian mengenai evaluasi standar dari tindakan manusia dan kemungkinan alternatif dari dunia yang lain.
Dengan memperhatikan masing-masing karakteristik ilmu-ilmu tadi, sekarang tampaknya lebih mudah untuk membedakan problematika realisme, is’nt it?
Ø Ontological(OR) : entitas apa yang nyata? Apakah memang benar-benar ada dunia pikiran, dunia ide?
Ø Semantical(SR) : apakah hubungan sebuah objektifitas bahasa dunia adalah kebenaran?
Ø Epistemological(ER) : apakah pengetahuan tentang dunia itu mungkin?
Ø Axiological(AR) : apakah tujuan dari permintaan jawaban atas pertanyaan adalah kebenaran?
Ø Methodological(MR) : metode apa yang terbaik untuk mencapai pengetahuan?
Ø Ethical(VR) : apakah nilai moral itu eksis dalam realitas?
Setiap pertanyaan tersebut memiliki tipe jawaban positif dan negatifnya, dimana pendukungnya dapat diidentifikasikan sebagai ‘realis’ dan lawannya sebagai ‘anti-realis’.
Situasi tampaknya semakin kompleks. Hubungan antara enam disiplin ilmu tersebut merupakan titik fundamental awal pembelajaran filsafat, dimana ketidaksetujuan merupakan sebab sumber yang penting dalam perdebatan antara realisme dan anti-realisme.
Teori Plato tentang ‘bentuk’ berusaha memecahkan problematika ontology, epistemology, semantics, axiology, dan ethics secara bersamaan. Pandangan tradisional yang dikemukakan Aristoteles dkk.(para filusuf sebelum Socrates), menempatkan ontology sebagai filsafat pertama, sehingga epistemology menjadi pokok bahasan yang primer. Tetapi bagaimanapun banyak juga para filusuf yang mengikuti pemikiran Immanuel Kant yang menolak gagasan tentang ‘metafisika’: tugas pertama filsafat adalah mempelajari kemungkinan dan kondisi-kondisi dari pengetahuan dengan membongkar dan menelanjangi struktur bawaan dari pikiran manusia. Pengikut Kant telah mengubah struktur mental ke dalam kerangka bahasa dan konseptual. Analisis filsafat di abad 20 telah mempelajari pertanyaan tentang eksistensi melalui komitment-komitment ontological dari teori-teori dan konsep-konsep dari sistem-sistem. Tardisi pemikiran pragmatis telah mengalami perkembangan variasi sejak pemikiran yang diajukan oleh Charles Pierce tentang ‘mendefinisikan’ realitas dan kebenaran dengan konsensus akhir dari komunitas ilmiah. Hal ini merupakan pendekatan yang dilakukan dengan menempatkan epistemology dan methodology sebelum semantics, dan semantics sebelum ontology.
Dalam hal yang sama, para pragmatis telah menolak gagasan dari fakta nilai perbedaan (Putnam1992), dimana kebebasan OR dan VR sering dilindungi “Hume’s guillotine” (misalnya: adalah tidak logis untuk menyatakan ‘sebaliknya’).
Michael Devitt dalam Realism and Truth(1991) memulainya dengan formulasi yang jelas. Dinyatakan bahwa isu pertanyaan OR seharusnya ditempatkan sebelum isu pertanyaan ER atau SR, sementara dua isu pertanyaan lainnya harus secara tegas dimusnahkan. Jika aturan ini dipakai sebagai premis argument bagi realisme, para pragmatis boleh komplain bahwa pertanyaan itu dipakai untuk menjatuhkan mereka –mereka bukan ‘bingung’ terhadap ontology, semantics, dan epistemology tapi hanya ‘tidak jelas’ perbedaan tujuannya. Lebih jauh lagi, realis ilmiah lainnya seperti Raimo Tuomela(1985), yang menerima prinsip scientia mensura (ilmu pengetahuan ilmiah adalah pengukur atas segalanya), mengklaim bahwa segala pertanyaan tentang eksistensi akan diputuskan terakhir setelah dilakukan penelitaian ilmiah.
Tesis utama Devitt adalah bahwa kebenaran sebaiknya dipisahkan dari realisme ontological(Devitt 1991:p.x): ‘No doctrine of truth is constitutive of realisme: there is no entailment from the one doctrine to the other’(p.5) –tidak ada doktrin kebenaran yang membentuk realisme: tidak ada hubungan ketergantungan antara doktrin yang satu dengan yang lainnya. Tesis ini tepat paling tidak dalam pengertian bahwa para realis ontological menerima gagasan kebenaran para anti-realis, dan semantical atau realisme pengganti sendiri tidak memberitahu pernyataan khusus yang mana yang benar dan yang mana yang salah (p.42). Selain itu, Devitt sendiri mendefinisikan teori korespondensi realis dari kebenaran, yang mengisyaratkan eksistensi dari realitas pikiran yang independent (p.29). Dalam hal yang sama, banyak formula realisme epistemological tidak akan menghasilkan pengertian tanpa adanya beberapa asumsi dari realisme ontological.
Michael Dummett(1982) berpendapat bahwa kita sebaiknya melakukan pendekatan OR melalui SR dan ER. Jika faktor S(semantics) dinyatakan sebagai bahan perdebatan (misalnya tentang entitas yang tidak dapat diobservasi atau tentang masa lalu) maka realisme tentang S adalah tesis yang pernyataanya memenuhi prinsip bivalence, misalnya ada objektifitas benar atau salah dalam realitas pikiran yang independent. Sedangkan anti-realis tentang S menolak gagasan bivalence(Luntley1988), dan menyarankan teori dimana kebenaran dan pengertian tergantung pada kemampuan dan peluang epistemic aktual kita.
Adalah adil untuk berharap bahwa filsafat bahasa akan membantu menjelaskan isu realisme dan anti-realisme. Pertanyaan ontological secara pasti terhubung dengan semantical dan epistemological. Tapi masih sangat meragukan apakah studi tentang bahasa dan artinya (semantic) dapat memecahkan isu-isu metafisika. Contohnya, akan ada pernyataan-pernyataan x yang tidak memiliki nilai kebenaran tertentu. Apakah pernyataan ini menentang realisme? Mungkin tidak, karena x bisa saja berupa pernyataan samar sederhana (misalnya:’ sekarang hujan’), sementara realitas dimana x dibahas (misalnya cuaca) adalah seutuhnya pikiran independent. Dengan kata lain realisme Ontological tidak perlu terhubung dengan prinsip bivalence.
Memang dibutuhkan pendapat Devitt tersebut demi kejelasan untuk menjaga pemisahan problematika realisme secara konseptual –sejauh yang kita bisa. Tapi hal ini tidak berarti kita bisa memposisikan isu ontological sebelum semua isu epistemic atau semantic, atau bahwa kita sebaiknya pada akhirnya nanti menghindari doktrin ‘hybrid’ (Devitt1991:47). Menurut pemikiran Richard Boyd(1990) realisme adalah pandangan dunia filsafat, sebuah ‘paket filsafat sklala besar’, dan dibutuhkan bahwa kita berusaha mencoba untuk menemukan kombinasi yang paling masuk akal dari kombinasi posisi ontological, semantical, epistemological, axiological, methodological dan ethical. Dengan kata lain adalah tidak menjanjikan mengharapkan OR dapat terpecahkan dengan tanpa keraguan tanpa memperhatikan SR, ER, AR, MR dan VR dan interkoneksi di dalammya.
Terutama realisme ilmiah kritis dalam bentuk ‘research programme’ dalam filsafat ilmiah dan manfaatnya untuk dapat dievaluasi oleh masing-masing kontribusinya ke seluruh problematika realisme.