Search

Penerapan Hak Untuk Sehat


Dr. Kartono Muhammad

Hak untuk sehat oleh banyak orang sering ditafsirkan sebatas hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan medik/kuratif. Ini antaraa lain tersirat dari hasil amandemen UUD 1945 yang mencantumkan “setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan..”. Pelayanan kesehatan kuratif adalah hanya sebagian kecil dari hak untuk sehat karena sehat bukan hanya “tersembuhkan dari penyakit” tetapi meliputi hal yang jauh lebih luas, dan upaya untuk membuat seseorang dapat menikmati kesehatan bukan hanya dengan penyembuhan ketika ia sakit. Banyak faktor yang ikut berperanan terhadap kesehatan seseorang antara lain pendidikan, perlindungan terhadap penyakit menular, tersedianya : lingkungan (baik fisik maupun sosial) yang sehat, air bersih (safe water), makanan bergizi dan rumah (shelter) yang sehat. Baru sesudah itu: tersedianya pelayanan penyembuhan yang memadai ketika seseorang terkena penyakit dan juga tersedianya sarana untuk mengendalikan kesuburan (pelayanan KB dan infertilitas). Diantara berbagai faktor tadi, pelayanan medis kuratif justru mempunyai peranan yang paling kecil dalam membentuk manusia yang sehat sehingga ia mampu hidup produktif. Tetapi dengan ia ditempatkan secara khusus dalam UUD 1945, maka seolah-olah ia menjadi penyumbang terbesar dalam menyehatkan rakyat Indonesia.
Dilihat secara sektoral memang faktor-faktor penyumbang terbesar terhadap kesehatan itu berada di luar bidang tugas menteri kesehatan sehingga masyarakat sering tidak melihatnya sebagai bagian dari hal yang menentukan tingkat kesehatan seseorang. Pola pikir seperti ini tidak hanyadimiliki oleh orang-orang awam saja, tetapi juga oleh para penentu kebijakan baik legislatif maupun eksekutif dan baik di pusat maupun didaerah. Pendidikan, khususnya bagi kaum perempuan, akan sangat besar pengaruhnya terhadap derajat kesehatan keluarga dan individu dalam keluarga tersebut. Seorang perempuan yang terdidik dengan baik akan mengetahui bagaimana menjaga kesehatan dirinya, suaminya dan anaknya secara benar, dan kemudian menularkan pengetahuannya itu kepada anak-anaknya. Bahkan tidak jarang iapun dapat melakukan “enforcement” mengenai cara hidup yang sehat kepada keluarganya. Kemudian faktor penunjang yang juga dapat berdampak positif (kalau dimanfaatkan secara positif) terhadap pendidikan dan kesehatan adalah komunikasi, transportasi, peningkatan ekonomi dan listrik.
Problemnya kemudian adalah yang mana yang perlu mendapat prioritas paling tinggi dan yang mana yang dapat rendah. Semuanya perlu mendapat prioritas yang tinggi karena semua itu ditujukan untuk membentuk manusia Indonesia yang berkualitas. Oleh karena itu yang diperlukan kemudian adalah pembangunan di semua sektor yang dilandasi dengan orientasi kesehatan, atau dengan kata lain kesehatan menjadi titik pusat dalam melakukan pembangunan di semua sektor. Mungkin ini terdengar sebagai sikap “chauvinistik” dari orang-orang kesehatan, tetapi jika diingat bahwa dalam menghadapi persaingan global tumpuan utama pada sumber daya manusia yang berkualitas, kita akan dapat memahami pandangan tersebut. Sumber daya manusia yang berkualitas akan mudah dicapai kalau mereka dalam keadaan sehat sejak masih dalam kandungan dan terjaga kesehatannya selama dia hidup.
Dari segi kepraktisan, pembahasan ini hanya dibatasi (sesuai dengan permintaan panitia) pada segi penyediaan lingkungan yang sehat, air bersih yang aman, dan perumahan, yang sekaligus juga berarti perlindungan dari kemungkinan terkena penyakit.

Lingkungan Yang Sehat

Ketika kita berbicara tentang lingkungan yang sehat, yang tergambar dalam pikiran kita mungkin hanya soal lingkungan fisik dan itupun mungkin hanya soal sampah, limbah dan selokan. Peranan lingkungan fisik terhadap kesehatan memang besar, dan hal itu sudah diketahui sejak jaman Hipokrates yang kemudian melahirkan istilah penyakit “malaria” (artinya udara busuk) karena mereka yang terkena penyakit ini biasanya pernah tinggal atau mengunjungi daerah rawa-rawa yang memang mengeluarkan bau tidak sedap. Di Indonesia, kaitan malaria dengan lingkungan juga jelas. Perubahan lingkungan yang terjadi di beberapa tempat di Jawa telah membuat daerah yang semula bebas malaria kini kembali terjangkit wabah malaria karena banyaknya bekas tambak yang terlantar. Kaitan antara lingkungan dengan berkembangnya wabah demam berdarah juga secara umum sudah diketahui. Kalangan kedokteran juga mengetahui bahwa wabah beberapa jenis penyakit menular, seperti campak, cacar air dan sejenisnya, mudah terjadi di daerah-daerah perumahan peri-urban yang padat yang kini banyak didapati di Indonesia. Penyakit legioner berkaitan dengan sistem pendingin sentral yang banyak digunakan di gedung-gedung bertingkat, mungkin juga sudah ada di Indonesia hanya belum terdiagnosis.
Yang kurang mendapat perhatian adalah pengaruh lingkungan fisik terhadap penyakit tidak menular seperti katarak, asma dan penyakit jantung. Sebuah penelitian yang dilaporkan oleh Takano, dkk baru-baru ini di majalah Journal of Epidemiology and Community Health (2002) mengungkapkan bahwa kehadiran lingkungan hijau yang dapat dijadikan tempat berjalan kaki (walkable green spaces) mempengaruhi panjangnya usia orang-orang perkotaan. Lingkungan fisik yang lain yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan adalah lingkungan yang tercemari oleh asap mobil dan asap rokok.
Lingkungan sosial yang sehat juga merupakan hal yang penting karena banyak masalah kesehatan yang juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang tidak sehat. Lingkungan fisik yang tidak sehat (mis. Perumahan yang padat dan kumuh) memang dapat juga berpengaruh terhadap kesehatan, termasuk kesehatan mental dan sosial. Masalah tawuran, penyalahgunaan obat-obat yang menimbulkan kecanduan, dan gangguan kesehatan jiwa lainnya sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang tidak sehat. Masalahnya memang lebih rumit karena hal itu berkaitan dengan rasa tidak aman baik untuk saat ini maupun untuk masa depan. Mengurangi perasaan tidak aman ini juga merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Terutama di daerah perkotaan. Upaya untuk membangkitkan rasa setiakawan yang menimbulkan dukungan sosial (social support) mungkin akan membantu menurunkan perasaan tidak aman ini.
Penyediaan lingkungan yang sehat memerlukan komitmen politik dari para penguasa, dan setelah masa otonomi daerah ini terutama penguasa tingkat daerah. Komitmen politik yang dituangkan dalam kebijakan-kebijakan dan peraturan perundang-undangan serta kesungguhan untuk melakukan “enforcement” agar peraturan tersebut dilaksanakan. Komitmen pada tingkat daerah ini akan lebih “applicable” karena wilayah yang harus dikontrol tidak terlalu luasa. Masalahnya tinggal bagaimana menyadarkan para penguasa daerah mengenai hal ini.


Masalah Air Bersih.
Tahun 2003 adalah Tahun International untuk Air Bersih. Tetapi dampak pertambahan penduduk dan perusakan lingkungan sebagai akibat industrialisasi telah membuat air bersih ini semakin sulit didapat dan diperkirakan suatu saat dapat terjadi perang gara-gara masalah air bersih ini. Majalah Nature edisi pertengahan Maret 2003 ini membuat masalah air bersih ini sebagai laporan utamanya. Dinyatakan bahwa sekitar 50% penduduk dunia dalam waktu dekat ini akan kesulitan memperoleh air bersih. Bagi negara-negara berkembang (dan rakyatnya miskin) masalah air bersih menjadi dilema yang besar karena untuk dapat memenuhi kebutuhan rakyatnya diperlukan teknologi, investasi dana dan sumber daya manusia yang mahal.
Untuk Indonesia masalah air bersih dan aman ini sudah lama terbengkalai dan tidak mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Sementara instalasi yang ada sudah terlalu tua yang memerlukan biaya besar untuk memeliharanya. Kembali disini diperlukan komitmen yang kuat dari pemerintah untuk mencari jalan agar kebutuhan rakyat akan air bersih dapat dipenuhi.
Diperlukan pula ketegasan pemerintah dalam menghadapi hal ini : apakah akan memperlakukan air bersih sebagai bagian dari “hak rakyat” ataukah sebagai komoditi biasa. WHO pernah mencanangkan target bagi negara-negara berkembang agar di Tahun 1980, 60% penduduk perkotaan dan 25% penduduk pedesaan di negara-negara berkembang sudah dijangkau oleh air bersih baik melalui PAM ataupun melalui upaya masyarakat setempat. Tetapi, seperti juga target-target WHO yang lain, kesepakatan itu tidak diikuti dengan kebijakan yang diarahkan untuk mencapainya dan tidak ada evaluasi tentang hal tersebut. Untuk negara-negara yang tanahnya kaya akan sumber alam, penduduknya sedikit, dan pemerintahnya mempunyai komitmen yang jelas pada rakyatnya, seperti Arab Saudi dan Kuwait, hal itu tidak masalah meskipun daerahnya merupakan gurun yang tandus. Kunci keberhasilannya adalah komitmen untuk memperhatikan kesehatan rakyat.



Peranan Masyarakat.
Jelas bahwa mengandalkan pada pemerintah saja tidak mungkin masalah-masalah tersebut dapat diatasi, terutama ketika pemerintah sendiri sedang menghadapi krisis. Masyarakat perlu diikuti sertakan dan keikutsertaan mereka harus diapresiasi secara pantas. Suatu hal yang selama ini juga terabaikan akibat pola politik yang feodalistik yang menganggap masyarakat sebagai kawulo dan kadangkala justru sebagai ancaman bagi kestabilan birokrasi sehingga mereka lebih banyak diajari untuk menerima perintah atau arahan daripada dibangkitkan kreativitasny untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.
Untuk ke depan ini kesertaan masyarakat harus secara benar-benar dibangkitkan, bukan hanya dalam melaksanakan proyek tetapi sejak dari identifikasi masalah, menyusun rencana, melaksanakan, dan mengawasi. Bahkan juga membiayai.