Rasionalisme Descartes dan Empirisme Hume masing-masing memiliki kelemahan apabila digunakan sebagai sebagai sebuah metode ilmiah. Kelemahan – kelemahan ini misalnya diperlihatkan oleh Honer dan Hunt. Pada Rasionalisme mereka melihat beberapa kelemahan. Pertama, pengetahuan yang dibangun oleh Rasionalisme hanyalah dibentuk oleh ide yang tidak dapat dilihat dan diraba. Eksistensi tentang ide yang sudah pasti maupun yang bersifat bawaan itu sendiri belum dapat didukung oleh semua orang dengan kekuatan dan keyakinan yang sama. Kedua, kebanyakan orang merasa kesulitan untuk menerapkan konsep Rasionalisme ke dalam kehidupan keseharian yang praktis. Ketiga, Rasionalisme gagal dalam menjelaskan perubahan dan pertambahan pengetahuan manusia. Banyak dari ide yang sudah pasti pada satu waktu kemudian berubah pada waktu yang lain.
Sementara itu pada Empirisme Honer dan Hunt juga melihat beberapa kelemahan. Pertama, Empirisme didasarkan kepada pengalaman. Tetapi apakah yang dimaksud dengan pengalaman? Pada satu waktu ia hanya berarti sebagai ransangan pancaindera. Lain waktu ia berarti sebagai sebuah sensasi ditambah dengan penilaian. Sebagai sebuah konsep, ternyata pengalaman tidak berhubungan langsung dengan kenyataan objektif yang sangat ditinggikan oleh kaum Empiris. Fakta tidak mempunyai apapun yang bersifat pasti. Kedua, sebuah teori yang sangat bergantung kepada persepsi pancaindera kiranya melupakan kenyataan bahwa pancaindera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Pancaindera sering menyesatkan karena tidak memiliki perlengkapan untuk membedakan antara khayalan dan fakta. Ketiga, Empirisme tidak memberikan kepastian. Apa yang disebut sebagai pengetahuan yang mungkin, sebenarnya merupakan pengetahuan yang seluruhnya diragukan.
Kelemahan-kelemahan dari masing-masing pandangan Rasionalisme dan Empirisme di atas, membuka celah bagi ditemukan dan dibentuknya sebuah pandangan baru yang dapat mengatasi kelemahan – kelemahan tadi. Salah satu usaha untuk mengatasi kelemahan-kelemehan tadi adalah dengan mengkombinasikan atau mengawinkan kedua pandangan dari aliran tersebut. Terdapat sebuah anggapan bahwa ilmu pada dasarnya adalah metode induktif-empiris dalam memperoleh pengetahuan. Memang ada beberapa alasan untuk mendukung anggapan ini, karena para ilmuwan dalam mengumpulkan fakta-fakta tertentu, melakukan berbagai pengamatan dan mempergunakan data inderawi. Namun demikian, apabila dicermati dengan lebih mendalam maka didapatkan bahwa kegiatan para ilmuwan tersebut merupakan suatu kombinasi antara prosedur rasional dan empiris. Dengan demikian, akal dan pengalaman dipakai secara bersamaan sehingga terjadi perkawinan antara pandanganRasionalisme Descartes dengan Empirisme Hume.
Perkawinan inilah yang penulis maksudkan dengan metode ilmiah yang didalamnya terdapat prosedur – prosedur tertentu yang sudah pasti yang dipergunakan dalam usaha memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dihadapi oleh seorang ilmuwan. Menurut Kattsoff proses metode ilmiah dimulai dengan pengamatan (artinya pengalaman-pengalaman) dan diakhiri dengan pengamatan pula. Tetapi permulaan dan akhir ini hanya sebuah pembagian yang bersifat nisbi.
Pengetahuan ilmiah, menurut Suriasumantri, harus memenuhi dua syarat utama. Pertama, pengetahuan itu harus bersifat harus konsisten, yakni sejalan dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi. Kedua, pengetahuan tersebut harus cocok dengan fakta-fakta empiris, sebab teori yang bagaimanapun konsistennya jika sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah. Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah berikut:
1. Perumusan masalah; berisikan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan berbagai faktor yang terkait di dalamnya.
2. Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis; argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengait dan membentuk permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan.
3. Perumusan hipotesis; jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.
4. Pengujian hipotesis; pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
5. Penarikan kesimpulan; penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima. Apabila dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis, maka hipotesis diterima. Sebaliknya, apabila dalam proses pengujian tidak terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis, maka hipotesis ditolak. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi bagian pengetahun ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yang mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya secara korespondensi.
Terlihat bahwa metode ilmiah merupakan gabungan antara logika deduktif dengan logika induktif yang ditandai dengan Rasionalisme dan Empirisme hidup secara berdampingan dengan sebuah mekanisme korektif.